Karya Taufiq Ismail
Berdiri kita di tebing yang menjulang
Samudera waktu bersama kita pandang
Adalah sejarah yang membayang
Seratus tahun telah terbentang
Peristiwa demi peristiwa pergi dan datang menggelombang
Dalam skala besar dunia berperang dua kali
Dalam ukuran sedang dunia berperang berpuluh kali
Dalam ukuran kecil konflik berlangsung tak terhitung kali
Kolonialisme memuncak dan kolonialisme berguguran
Bangsa-bangsa tertindas merebut bendera kebebasan
Kita pancangkan Merah Putih itu dan dia berkibaran
Tampakkah olehmu di bawah sana
Rimba tiang dengan bendera dua warna berkibaran
Tampakkah olehmu sebentang poster
Sebuah negara baru saja merdeka
Tampakkah olehmu orang-orang menakik getah pohonnya
Menguliti dahannya, menumbuk akarnya,
Meremas ekstrak cairannya
Mengendapi simpul-simpul syaraf nasion
Membuat harmoni dalam komposisi
Merumuskan formula sebuah bangsa
Bertahun-tahun, berpuluh tahun lamanya
Berpuluh tahun kita mencari bentuk demokrasi
Yang tepat formatnya bagi kita serta serasi
Tetapi masih juga bablas di sana-sini
Berpuluh tahun hukum kita tegakkan agar kukuh berdiri
Tegak dengan lurus berakar ke dalam bumi
Tetapi betapa rumitnya meneguhkan ini
Selesai satu krisis muncul dua krisis lagi
Bencana sedang menimpa timbul bencana kedua
Betapa berat merawat dua ratus juta mulut yang menganga
Sembuh satu penyakit manusia meruyak penyakit hewan lagi
Mereda dua buah ekses timbul tiga ekses menanti
Sesudah gempa, tsunami, banjir air dan banjir lumpur menjadi-jadi
Beban hutang 1600 trilyun rupiahnya
Terbungkuk bahu kita dibuatnya.
Di negeri ini antara halal dan haram tak jelas batasnya lagi
Seperti membedakan warna benang putih dan benang hitam
Di hutan kelam
Jam satu malam
Kepemilikan tidak dihargai
Undang-undang, peraturan, prosedur diinjak dengan kaki
Tata-cara, etika, basa-basi apalagi
Semua harta dan benda di antara bumi dan angkasa dihabisi
Hutan, tambang, bumi, minyak, air, pasir,
Bank, bisnis, birokrasi,
Dihabisi.
Teringat kita, sebuah bendungan besar terban satu dasawarsa yang silam
Suaranya gemuruh menderu-deru ke seluruh penjuru
Membawa perubahan politik kenegaraan, berbagai aspeknya
Tetapi bersama jebolnya bendungan itu, ikut terbawa pula
Hanyutnya nilai-nilai luhur luar biasa tinggi harganya
Nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa
Pengorbanan, tanggung-jawab, kebersamaan, optimisma
Keberanian merubah nasib, ketertiban, pengendalian diri,
Penghargaan pada nyawa manusia.
Perilaku kita sebagai bangsa mulai berubah
Sedikit-sedikit tersinggung, teracung kepalan dan marah-marah
Lalu merusak, membakar dan menumpahkan darah
Berteriak dengan kata-kata sumpah serapah
Hati meradang, suara serak, mata pun merah
Sungguh sirna citra bangsa yang ramah-tamah
Kebringasan menggantikan senyum yang habis sudah
Ucapan keji mengganti kosa kata yang lembut dan lemah
Dalam sebuah adegan luar biasa kebalauan
Sesudah usai sidang, tegaklah hakim, jaksa, panitera dan pesakitan
Kemudian ketika yang dirugikan minta keadilan
Orang akan dihadapkan pada bursa penawaran
Penawaran jual beli keputusan pengadilan
Melalui jaringan mafia, calo, perantara dan petugas orang dalam
Sehingga bisa diatur keras lunaknya palu yang diketukkan
Karena "h-a-k-i-m, hubungi aku kalau ingin menang" ) begitu diucapkan
Demikian dilisankan
Demikian dalam kenyataan
Demikian dipraktekkan
Demikian kuasanya, tak tersentuh, tandus akal sehat dan nurani
Tiada kontrol, eksklusif tanpa investigasi
Bebas dari pengawasan eksternal, semakin menjadi-jadi
Ratusan triliun bila dirupiahkan, bangsa selama ini rugi.
Saudaraku
Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?
Masih adakah?
Dengan lirih ada yang berkata
Mudah-mudahan, barangkali masih ada
Karena di bawah mendung yang berat menggantung
Ada tampak kecil seberkas cahaya
Karena ada bahagian tak tampak dari wajah bangsa
Tak disebut di koran, sosoknya tak tampak di media massa
Yang tetap bekerja keras melakukan tugasnya
Petani-petani di desa yang mensubsidi nasi orang kota
Buruh yang bergaji rendah tapi tetap saja bekerja
Guru-guru yang mengajarkan ilmu dengan setia
Birokrat yang bersih tak sudi diperciki noda
Penegak hukum yang masih rapi nuraninya
Bersahaja semua hidupnya, dalam warna sederhana
Negeri kita disayangi Tuhan adalah karena mereka
Karena doa dari rakyat yang melarat tak tampak wajahnya
Doa orang sakit yang terbaring di permukiman sederhana
Ditolak di rumah sakit karena tak kuat membayarnya
Doa 6 juta anak Indonesia yang ingin bersekolah juga
Doa 15 juta penganggur yang merindukan lapangan kerja
Merindukan pagi Indonesia bermandikan cahaya
Ketika orang-orang berkemas pergi bekerja
Ada yang bertani bercocok tanam
Ada yang berdagang memutar ekonomi
Ada yang mengajar menyampaikan ilmu
Ada yang merawat birokrasi menyelenggarakan pemerintahan
Ada yang kukuh menegakkan hukum dan keadilan.
Saudaraku,
Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?
Mudah-mudahan masih ada
Ya, memang masih ada
Selepas seratus tahun bilangan masa
Mari kita berhenti menyalah-nyalahkan siapa
Dalam buku harian kita
Mari kita coret kata putus-asa
Dalam kamus bahasa kita
Karena kita akan bangkit bersama
Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa
Dari atas sampai ke bawah
Kerja keras, kerja keras, kerja keras semua
Kemudian berdoa, berdoa, berdoa semua
Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa
Semoga Indonesia kita
Tetap disayangiNya
Selalu dilindungiNya.
2005, 2007, 2008
Monday, May 19, 2008
Friday, May 16, 2008
Sri (Jangan) Minggat
Sri, kapan kowe bali, kowe lunga ora pamit aku, jarene nang pasar arep tuku terasi, nganti sak prene kowe during bali…
Penyanyi campursari Sonny Jos menggambarkan Sri sebagai wanita sederhana nan lemah lembut tetapi berhati keras. Ketika menghadapi masalah rumah tangga yang tidak bisa ia tanggungkan lagi, Sri memutuskan untuk minggat. Kisah itu pun diabadikan Sonny dalam lagu 'Sri Minggat' yang dihapal semua orang itu.
Lagu sering kali menjadi cerminan kondisi sosial di sekitar kita. Bisa Sonny hanya berkhayal ketika menciptakan lagu itu. Tapi, sangat mungkin dia mendapatkan inspirasi dari keadaan di lingkungannya, di Probolinggo sana, sebelum menciptakan lagu itu.
Kita tidak tahu berapa banyak Sri-Sri yang lain yang menghadapi problem rumah tangga yang menyesakkan itu. Kalau hanya sekadar minggat sih tidak terlalu bikin pusing. Tapi kalau sudah nekat bunuh diri--apalagi kalau bunuh dirinya berjamaah mengajak anak dan suami--pasti bikin prihatin.
Orang-orang miskin yang malang itu sudah buntu akalnya. Mereka merasa ditinggalkan, kesepian sendiri, tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Jalan pintas yang mereka anggap terbaik itu pun mereka ambil.
Sampai sekarang ini kita punya sedikitnya 36,8 juta orang miskin dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu masih akan meningkat lagi dengan tajam kalau Juni ini pemerintahan SBY-JK memutuskan menaikkan harga harga BBM sampai 30 persen. Sebuah studi menunjukkan bahwa kenaikan BBM itu akan melahirkan 8,55 persen orang miskin baru atau sebanyak 15,68 juta.
* * *
Nun di Jakarta sana, kita punya seorang wanita bernama Sri juga. Beda dengan Sri-nya Sonny Jos dari Probolinggo, Sri yang di Jakarta ini adalah Sri Mulyani Indrawati. Dialah menteri keuangan kita yang hebat.
Sri yang satu ini reputasinya dikenal sangat luas. Dialah satu-satunya wanita Indonesia yang pernah menjadi direktur IMF (International Monetary Fund) dan berkantor di Washington DC sana. Sri kemudian dipanggil balik ke Indonesia dan ditugasi sebagai Ketua Bappenas dan sekarang menjadi menteri keuangan.
Bedanya dengan Sri-nya Sonny yang putus asa, Sri Mulyani dikenal sebagai wanita yang tangguh. Ia satu di antara tiga wanita di kabinet SBY. Tetapi, ternyata ia tidak kalah tegas dibanding menteri-menteri lain.
Sri Probolinggo dengan Sri Jakarta ini jelas beda kapasitas. Sri Probolinggo hanya mengurusi keuangan domestik. Urusannya paling-paling cuma belanja terasi. Sri Jakarta ini bertanggung jawab terhadap rumah tangga nasional yang kompleks dan serba ruwet.
Memang ada juga sih persamaannya. Kalau sudah kepepet, Sri Probolinggo itu paling-paling bisanya cuma ngutang ke tetangga. Sri Jakarta ini ternyata juga begitu, ketika duit kita tidak cukup untuk belanja negara, tidak ada pilihan lain kecuali ngutang ke tetangga.
* * *
Sri Mulyani adalah wanita tegas dan tegar seperti Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris 1979-1990. Seperti Sri, Thatcher adalah wanita kokoh di lingkungan pertempuran politik yang umumnya didominasi laki-laki. Thatcher menjadi perdana menteri Inggris terlama dalam sejarah dan berhasil memenangkan tiga kali pemilu.
Ia dikenal sebagai Iron Lady atau wanita besi karena ketegasannya. Dia melahirkan kebijakan ekonomi yang sangat keras yang pro kepada orang-orang kaya dan pengusaha. Thatcher tidak ragu-ragu mencabut subsidi kepada orang miskin dan membuka pasar bebas seluas-luasnya.
Peran pemerintah dipangkas seminim mungkin dan wasta diberi peran sebanyak mungkin. Jumlah orang miskin melonjak di Inggris selama kepemimpinan Thatcher. Tapi, ekonomi Inggris terbukti lebih kuat dan sehat.
Model kebijakan ekonomi ala Thatcher ini kemudian dikenal sebagai 'Thatcherism' yang sekarang terkenal dengan sebutan 'neo-liberalisme'.
Neo-liberalisme dan globalisasi sering disebutkan dalam satu tarikan napas. Globalisasi yang dikendalikan oleh IMF menghendaki dibukanya pasar secara bebas. Peran pemerintah harus dikurangi. Karena itu perusahaan BUMN harus diswastakan. Pendidikan dan kesehatan pun harus dikelola supaya efisien menghasilkan untung. Kalau kemudian menjadi mahal dan tidak terjangkau, itu urusan lain.
Ideologi inilah yang sekarang 'diugemi' oleh Sri Mulyani. Karena itu dia tidak ragu mengusulkan pencabutan subsidi dan menaikkan harga BBM.
* * *
Sri Probolinggo dan Sri Mulyani di Jakarta adalah dua sisi wanita yang berbeda. Apa pun, keduanya adalah aset bangsa. Kita tidak ingin Sri Probolinggo semakin menderita karena kebijakan Sri Mulyani di Jakarta.
Kita tidak ingin Sri Probolinggo minggat lagi. Kita juga tidak ingin Sri Mulyani ngambek dan minggat lagi ke Washington gara-gara ide-idenya tidak dipakai. Pasti ada jalan kompromi di antara pilihan-pilihan sulit ini.
Jeng Sri jangan minggat (lagi) ya…
Source: http://surya.co.id
Penyanyi campursari Sonny Jos menggambarkan Sri sebagai wanita sederhana nan lemah lembut tetapi berhati keras. Ketika menghadapi masalah rumah tangga yang tidak bisa ia tanggungkan lagi, Sri memutuskan untuk minggat. Kisah itu pun diabadikan Sonny dalam lagu 'Sri Minggat' yang dihapal semua orang itu.
Lagu sering kali menjadi cerminan kondisi sosial di sekitar kita. Bisa Sonny hanya berkhayal ketika menciptakan lagu itu. Tapi, sangat mungkin dia mendapatkan inspirasi dari keadaan di lingkungannya, di Probolinggo sana, sebelum menciptakan lagu itu.
Kita tidak tahu berapa banyak Sri-Sri yang lain yang menghadapi problem rumah tangga yang menyesakkan itu. Kalau hanya sekadar minggat sih tidak terlalu bikin pusing. Tapi kalau sudah nekat bunuh diri--apalagi kalau bunuh dirinya berjamaah mengajak anak dan suami--pasti bikin prihatin.
Orang-orang miskin yang malang itu sudah buntu akalnya. Mereka merasa ditinggalkan, kesepian sendiri, tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Jalan pintas yang mereka anggap terbaik itu pun mereka ambil.
Sampai sekarang ini kita punya sedikitnya 36,8 juta orang miskin dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu masih akan meningkat lagi dengan tajam kalau Juni ini pemerintahan SBY-JK memutuskan menaikkan harga harga BBM sampai 30 persen. Sebuah studi menunjukkan bahwa kenaikan BBM itu akan melahirkan 8,55 persen orang miskin baru atau sebanyak 15,68 juta.
* * *
Nun di Jakarta sana, kita punya seorang wanita bernama Sri juga. Beda dengan Sri-nya Sonny Jos dari Probolinggo, Sri yang di Jakarta ini adalah Sri Mulyani Indrawati. Dialah menteri keuangan kita yang hebat.
Sri yang satu ini reputasinya dikenal sangat luas. Dialah satu-satunya wanita Indonesia yang pernah menjadi direktur IMF (International Monetary Fund) dan berkantor di Washington DC sana. Sri kemudian dipanggil balik ke Indonesia dan ditugasi sebagai Ketua Bappenas dan sekarang menjadi menteri keuangan.
Bedanya dengan Sri-nya Sonny yang putus asa, Sri Mulyani dikenal sebagai wanita yang tangguh. Ia satu di antara tiga wanita di kabinet SBY. Tetapi, ternyata ia tidak kalah tegas dibanding menteri-menteri lain.
Sri Probolinggo dengan Sri Jakarta ini jelas beda kapasitas. Sri Probolinggo hanya mengurusi keuangan domestik. Urusannya paling-paling cuma belanja terasi. Sri Jakarta ini bertanggung jawab terhadap rumah tangga nasional yang kompleks dan serba ruwet.
Memang ada juga sih persamaannya. Kalau sudah kepepet, Sri Probolinggo itu paling-paling bisanya cuma ngutang ke tetangga. Sri Jakarta ini ternyata juga begitu, ketika duit kita tidak cukup untuk belanja negara, tidak ada pilihan lain kecuali ngutang ke tetangga.
* * *
Sri Mulyani adalah wanita tegas dan tegar seperti Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris 1979-1990. Seperti Sri, Thatcher adalah wanita kokoh di lingkungan pertempuran politik yang umumnya didominasi laki-laki. Thatcher menjadi perdana menteri Inggris terlama dalam sejarah dan berhasil memenangkan tiga kali pemilu.
Ia dikenal sebagai Iron Lady atau wanita besi karena ketegasannya. Dia melahirkan kebijakan ekonomi yang sangat keras yang pro kepada orang-orang kaya dan pengusaha. Thatcher tidak ragu-ragu mencabut subsidi kepada orang miskin dan membuka pasar bebas seluas-luasnya.
Peran pemerintah dipangkas seminim mungkin dan wasta diberi peran sebanyak mungkin. Jumlah orang miskin melonjak di Inggris selama kepemimpinan Thatcher. Tapi, ekonomi Inggris terbukti lebih kuat dan sehat.
Model kebijakan ekonomi ala Thatcher ini kemudian dikenal sebagai 'Thatcherism' yang sekarang terkenal dengan sebutan 'neo-liberalisme'.
Neo-liberalisme dan globalisasi sering disebutkan dalam satu tarikan napas. Globalisasi yang dikendalikan oleh IMF menghendaki dibukanya pasar secara bebas. Peran pemerintah harus dikurangi. Karena itu perusahaan BUMN harus diswastakan. Pendidikan dan kesehatan pun harus dikelola supaya efisien menghasilkan untung. Kalau kemudian menjadi mahal dan tidak terjangkau, itu urusan lain.
Ideologi inilah yang sekarang 'diugemi' oleh Sri Mulyani. Karena itu dia tidak ragu mengusulkan pencabutan subsidi dan menaikkan harga BBM.
* * *
Sri Probolinggo dan Sri Mulyani di Jakarta adalah dua sisi wanita yang berbeda. Apa pun, keduanya adalah aset bangsa. Kita tidak ingin Sri Probolinggo semakin menderita karena kebijakan Sri Mulyani di Jakarta.
Kita tidak ingin Sri Probolinggo minggat lagi. Kita juga tidak ingin Sri Mulyani ngambek dan minggat lagi ke Washington gara-gara ide-idenya tidak dipakai. Pasti ada jalan kompromi di antara pilihan-pilihan sulit ini.
Jeng Sri jangan minggat (lagi) ya…
Source: http://surya.co.id
Sunday, April 20, 2008
Wakil Presiden Tukul
Rano Karno menjadi wakil bupati, Dede Yusuf menjadi wakil gubernur, sebentar lagi Tukul menjadi wakil presiden.
Rano Karno lebih dikenal sebagai Si Doel. Dede sangat dikenal sebagai bintang obat sakit kepala. Popularitas mereka terbukti menjadi daya pikat bagi pemilih yang sudah bosan dengan para birokrat mapan yang tidak menghasilkan apa-apa.
Sekaranglah kesempatan bagi orang-orang terkenal itu untuk menjadi sumber alternatif kepemimpinan. Wanda Hamidah akan mencalonkan diri menjadi wakil bupati atau wakil walikota. Saiful Jamil akan macung wakil bupati, atau Inul yang bakal balik ke Pasuruan dan mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota.
Tak usahlah bicara soal kemampuan mengendalikan pemerintahan. Memangnya para politisi yang berebutan jabatan itu punya kemampuan mengendalikan pemerintahan? Tidak juga.
* * *
Kira-kira 2500 tahun yang silam, Socrates mengatakan bahwa pekerjaan sesederhana apapun di dunia ini membutuhkan keterampilan untuk menjalankannya. Butuh waktu belajar untuk bisa memperoleh keterampilan itu.
Tetapi anehnya, kata Socrates, ada satu pekerjaan yang semua orang merasa bisa melakukan tanpa belajar atau punya keterampilan, yaitu, menjalankan pemerintahan. Padahal, kata Socrates, itu adalah pekerjaan yang paling sulit dan berat di antara semua pekerjaan yang ada di dunia ini.
Socrates sudah mencium fenomena ini 2500 tahun yang lalu. Ternyata pernyataan Socrates itu justru lebih relevan sekarang di Indonesia. Orang berlomba-lomba maju menjadi kepala daerah tanpa punya keterampilan dan pengetahuan apa pun mengenai pemerintahan.
Mereka merasa bahwa memerintah adalah 'ilmu katon' yang bisa dipelajari sambil jalan. Socrates sudah mengecam kecenderungan ini ribuan tahun yang lalu. Ia sudah mencium bahwa para pemimpin pemerintahan yang pandir itu akan menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan.
Hitunglah sekarang di negeri kita ini berapa banyak orang yang tidak kompeten yang mencalonkan diri menjadi menjadi kepala pemerintahan. Celakanya, mereka terpilih.
Akibatnya, nasib rakyat akan dipertaruhkan sebagai uji coba oleh pemimpin yang tidak kompeten ini.
Nyawa rakyat menjadi taruhan. Bencana alam berkepanjangan, bencana di darat, laut, dan udara, bencana menerikan di Sidoarjo adalah akibat dari ketidakmampuan pemimpin menjalankan pemerintahan.
* * *
Daftar orang-orang yang berambisi berebut kursi kepresidenan pada 2009 nanti adalah stok-stok lama yang semuanya punya andil--sedikit atau banyak--dalam keterpurukan negeri kita ini.
Ada yang pernah memerintah beberapa tahun dan tidak melakukan apa-apa kecuali ributterus dengan orang lain. Ada yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali menjuali aset-aset negara. Ada juga yang tidak melakukan apa-apa kecuali menembaki rakyat yang tidak berdosa. Ada yang tidak melakukan apa-apa kecuali meringkus semua peluang bisnis untuk diri dan kroninya. Ada juga yang benar-benar tidak melakukan apa-apa.
Mereka inilah yang nanti akan datang kepada rakyat dan menawarkan diri mereka untuk menjadi pemimpin rakyat dengan berbagai bujuk rayu.
Demokrasi adalah nama yang kita berikan kepada rakyat ketika kita membutuhkan mereka. Begitu kata ahli filsafat politik. Kita sudah hapal karena setiap lima tahun tiba-tiba saja rakyat menjadi begitu penting.
Sebentar lagi akan bermunculan beragai jargon yang mengatasnamakan rakyat. Kita pasti masih ingat jargon 'Bersama Kita Bisa'. Mana buktinya? Bersama kita bisa apa? Jangankan untuk menyelesaikan krisis nasional, untuk 'bisa bersama' saja para pemimpin itu tidak bisa.
Yang terjadi adalah bersama kita bisa antre. Karena di mana-mana orang antre dengan tertib. Antre mendapat beras dan antre membeli minyak tanah dan minyak goreng.
Itulah pemandangan yang lazim kita saksikan sehari-hari belakangan ini.
Kita patut bangga sedikit. Ternyata masyarakat kita cukup disiplin.
Lihatlah di jalanan dan di sudut-sudut kampung, orang dengan tertib antre untuk mendapatkan beras dan minyak.
Katanya budaya antre itu bukan budaya Indonesia. Orang Indonesia suka main serobot di jalan dan di mana-mana Tapi ternyata sekarang tuduhan itu tidak benar. Budaya antre benar-benar menjadi budaya Indonesia. Meski pahit, mau tidak mau kita harus telan juga. Itulah kenyataannya.
Itulah bukti ketidakmampuan rezim pemerintahan kita.
* * *
Kalau sudah begitu mengapa kita tidak sekalian saja memilih Tukul sebagai presiden atau wakilnya. Tanya kepada semua orang mereka pasti mengenal Tukul. Tampangnya yang katrok justru menjadi simbol kejujuran. Kejujuran inilah yang tidak dipunyai politisi dan pemimpin yang ada sekarang.
Gaya Tukul yang bego justru menimbulkan simpati dan menjadi daya tarik. Saya yakin, Tukul jauh lebih cerdas dibanding rata-rata politisi kita.
Tukul adalah dagelan. Politik juga dagelan.
Hidup Wapres Tukul!*
http://surya.co.id
Thursday, April 3, 2008
Celana Pegawai Panti Pijat di Batu Akan Digembok
Batu - Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Batu, Jawa Timur, mengancam akan mencabut izin usaha panti pijat atau banyak disebut pijat tradisional alias Pitrad, bila tidak menata diri dan melanggar aturan.
Hal ini menyusul rencana Pemkot Batu untuk menata sejumlah usaha panti pijat, untuk menghindari dari praktik bisnis prostitusi terselubung yang tumbuh subur di kota wisata berhawa dingin itu.
Dalam aturannya, Pemkot Batu akan mewajibkan para pekerja panti pijat untuk mengenakan celana khusus yang dilengkapi gembok. Tujuannya, agar tidak terjadi penyimpangan usaha panti pijat untuk tujuan porostitusi.
"Sehingga, usaha panti pijat bersih dari praktik prostitusi terselubung," terang Kepala Satpol PP Kota Batu Imam Suryono saat dihubungi detiksurabaya.com, Jumat (4/4/2008).
Pemkot Batu telah memberikan pengarahan bagi 13 panti pijat untuk menata diri, mengubah citra negatif yang melekat pada usaha panti pijat.
Aturan itu telah disosialisasikan kepada pengelola panti pijat di Batu, untuk segera merespon dan mentaatinya. Selama ini, baru dua panti pijat yang menerapkan kewajiban pekera panti pijat mengenakan celana bergembok. Sedangkan, kunci hanya dipegang oleh
penanggung jawab panti pijat.
"Panti pijat selama ini diidentikkan dengan esek-esek. Kita akan melakukan pengawasan secara ketat," katanya.
Sehingga, diharapkan panti pijat akan menjadi sarana kesehatan bagi keluarga. Selama ini, para pengunjung hanyalah pria dewasa yang berasal dari luar Batu maupun dari sekitar Malang.
Selain jasa pijat, sebagian besar usaha panti pijat dilengkapi dengan sauna atau mandi uap.
Ya mudah-mudahan emang bener bukan cari sensasi...
Kita Tunggu Aja....
Source: http://detik.com
Tuesday, April 1, 2008
Bakri Lebih Kaya dari Nabi Sulaiman
Lupa tahun berapa. Pak Harto masih berkuasa. ABRI dan Golkar sedang kuat-kuatnya.
Menteri Agama waktu itu Pak Tarmidzi Taher, Pangdam Jatim Pak Hartono Banyuanyar
Madura, Gubernur Jatim mungkin Pak Basofi Sudirman. Seingat saya ketiga beliau hadir
di BPPM Pondok Gontor Ponorogo siang itu bersama Bambang Tri Hatmojo boss Bimantara. RCTI meliput acara itu untuk siaran tunda, dipimpin langsung oleh direkturnya: Andy
Ralli Siregar. Waktu itu RCTI masih sempit wawasan dan pengalaman pasarnya,
sehingga menyangka saya dan KiaiKanjeng layak tayang. Kesempitan wawasan itu segera
dibayar dengan pernyataan pengunduran diri sang Direktur hanya beberapa puluh menit
sesudah saya dan Kiai Kanjeng naik panggung.
Pasalnya, beberapa menit saya di panggung, saya dikasih kertas kecil berisi
peringatan agar saya hati-hati bicara terutama karena ada anaknya Pak Harto. Maka
saya benar-benar sangat berlaku hati-hati. Saya mengangkat tangan kiri dengan
hati-hati, telunjuk saya luruskan dengan hati-hati dan saya tudingkan ke arah
Bambang Tri Hatmojo.
Tangan saya adalah anugerah Allah yang sangat mahal, sehingga saya gunakan pula
untuk menuding orang yang paling mahal dan penting. "Bambang Tri!", kata saya
dengan hati-hati, "Nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan kekayaanmu. Coba
dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen yang haram dan
berapa persen yang syubhat...."
Karena atmosfir suasana dan wajah semua orang yang hadir terutama para pejabat
tinggi menjadi sangat tegang dan kebingungan, saya meneruskan : "Saya tahu kata2
dan sikap saya sangat menusuk dan menyakitkan hati Bung Bambang, tetapi mohon
diingat bahwa itu hanya secipratan dibandingnya sakitnya hati rakyat selama ini..."
Setelah itu bisa dibayangkan sendiri apa yang terjadi, bagaimana nasib saya,
bagaimana nasib Kiai Gontor yang sesepuh saya di hadapan Pak Harto, bagimana nasib
Direktur RCTI di depan pemilik Bimantara Bambang Tri Hatmojo dst.
Apalagi ketika
kemudian mendadak MC berdiri dan memotong pembicaraan saya dengan mengatakan
"Saudara-saudara demikianlah tadi telah berlangsung seluruh rangkaian acara...."
Spontan dengan hati-hati saya menggebrak meja dan saya bentak MC itu dan saya suruh
turun panggung....
Kalau Anda hadir di Bangbang Wetan insyaallah ada kemungkinan saya kisahkan secara
lebih detail apa yang kemudian terjadi. Suharto masih sangat berkuasa, tentara dan
polisi ada di mana-mana karena Pangdam hadir Menteri hadir dan terutama anaknya Pak
Harto hadir.
Jangan dibandingkan dengan situasi sekarang. Ketika Orba semua orang "ndelosor"
ketakutan. Beda dengan di masa reformasi, sekarang ini: semua orang pemberani,
hebat-hebat, kritis, progresif dan berani melawan siapa saja. Di masa reformasi
semua orang bangkit, semua orang bisa jadi Menteri, semua orang bisa jadi Gubernur,
anggota DPR, Bupati, Walikota...
Kecuali saya. Saya sangat penakut begitu era reformasi berlangsung. Sehingga kalau
umpamanya saya terlibat dalam suatu forum di mana ada Aburizal Bakri, saya jamin
saya tidak akan berani mengucapkan kalimat seperti yang saya ucapkan di depan umum
kepada Bambang Tri Hatmojo : "Bung Ical, nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan
kekayaanmu. Coba dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen
yang haram dan berapa persen yang syubhat...."
Mungkin karena beliau saya bayangkan lebih kaya dibanding Nabi Sulaiman, meskipun
hal itu harus diinvestigasi. Mungkin juga karena dalam pemetaan struktural global
seperti sekarang belum ada pasal-pasal fiqih yang bisa dipakai sebagai parameter
untuk mengukur apakah uang yang itu halal atau haram. Kausalitas, sebab akibat,
asal muasal, ujung pangkal dan sangkan paran setiap lembar uang di tangan seseorang
sangat susah ditentukan posisi fiqhiyahnya, halal haramnya.
Yang saya mampu lakukan adalah tiga hari yang lalu khushusan dari Jakarta saya
datang ke Sidoardjo untuk berkumpul dengan sekitar 120 perwakilan dan tokoh-tokoh
masyarakat korban lumpur yang berjumlah sekitar 11.600 KK atau sekitar 47.000
orang, di luar 290 KK yang masih tinggal di Pasar Porong. Sebelum itu saya temui
dulu Bupati Sidoardjo untuk memastikan di mana "alamat" beliau dalam peta lumpur
hari ini dan ke depan.
Alhamdulillah Sidoardjo solid. Nanti Pebruari Sidoardjo Bangkit. Kami menyepakati
sejumlah prinsip secara penuh tekad bulat, menyusun sekian agenda bertahap ke
depan. Monggo saja.****
Emha Ainun Nadjib
Sunday, March 30, 2008
Bangbang Wetan, Bangbang Geni
Jaringan Bangbang Wetan yang di Jakarta, yakni Komunitas Kenduri Cinta, beberapa hari yll saya mintai tolong mensupport kegiatan Urban Poor Concortium antara 5 sd 10 Desember ini. Mereka ingin Presiden hadir berdialog dengan kaum miskin urban Jakarta yang mereka kumpulkan. Tetapi Wardah Hafidh, pimpinan UPC, baru menghubungi kami awal Desember. Bagaimana mungkin Presiden “didadak”. Tetapi tetap saya upayakan dan teman-teman KC bergerak dari level dan wilayah mereka.
Bagi saya inisiatif itu sangat menarik. UPC tergolong LSM besar dan sudah lebih 10 tahun menemani masyarakat miskin perkotaan. Saya tidak akan menilai apa-apa tentang LSM, tetapi Wardah dan UPC yang selama ini dikenal frontal dan radikal secara politik menghadapi pemerintah, terutama Pemerintah DKI: menarik untuk ditengok bahwa mereka membuka dialog dengan Presiden.
UPC percaya kepada dialog, kepada komunikasi, perundingan, perdebatan - tak hanya berjuang dengan mengandalkan kebencian, menuding-nuding, “ngarani” dan “ngrasani”.
Wardah Hafidh, kakak kandung Salman Hafidh yang dulu dihukum mati oleh rezim Suharto karena kasus penyerbuan Polsek di Bandung, selama ini memang tidak dikenal “hobi” omong, bikin statemen di koran, pidato gagah, orasi kejam menusuk-nusuk mereka yang dibenci.
Wardah bersuara sangat lirih dan lembut. Tak suka tampil. Tak merasa dirinya tokoh atau pejuang. Wardah dengan setting sejarah Masyumi meskipun ia bukan kader Masyumi: percaya bahwa yang dicari rakyat adalah solusi. Yang dibutuhkan masyarakat yang bermasalah adalah jalan keluar. Wardah bukan pedagang masalah, yang punya kepentingan untuk mencari masalah, menghimpun masalah, memelihara masalah, mempertahankan masalah, karena penghidupannya bersumber dari masalah rakyat.
Wardah sangat mencintai rakyat kecil, karena memang demikian habitat keluarganya sejak dulu. Bersekolah di Mu'allimat Muhammadiyah, Sarjana Bahasa Inggris IKIP Malang, meneruskan di Ballstate University, Muncy City, Indianapolis, Amerika Serikat. Bertamu ke Allah di rumah-Nya diam-diam, dan pulang ke tanah air tanpa memasangnya sebagai hiasan penampilan sosialnya. Wardah menikmati diri dan kehidupannya yang sejati menjelang usia senjanya.
Tetapi tidak mungkin Presiden kita “paksa” mengubah skedulnya yang padat dalam waktu yang mendadak. Tetapi bisa kita upayakan agar Presiden menginstruksikan kepada Gubernur DKI Jaya Fauzi Bowo untuk merespon ajakan dialog. Syukur alhamdulillah melalui sejumlah sms dan proses, Gubernur baru itu pada 5 Desember hadir di Tugu Proklamasi Jakarta pada acara UPC menjelang Peringatan Hari HAM 10 Desember. Wardah mengatakan kepada saya bahwa kehadiran Gubernur itu positif, artinya tidak ada kepalsuan ideologis dan kolusi birokrasi. Berlangsung rasional, fair, dengan nuansa dialog dan perundingan.
Tidak nuansa sikap dari Pemerintah yang hitam putih bahwa “pokoknya LSM itu jelek”, sebaliknya juga tidak ada irrasionalitas sikap LSM yang mati hidup menyebut “pokoknya Pemerintah itu jelek”. Saya tidak menyimpulkan bahwa dengan demikian Indonesia akan keluar dari masalah-masalahnya. Saya tidak mengatakan bahwa nuansa positif ini cukup untuk menyelesaikan masalah. Tetapi bahwa memang demikianlah yang semestinya dilakukan oleh manusia, oleh intelektual, oleh aktivis, oleh pejuang, dalam posisi apapun.
Selama ini kita punya kebiasaan untuk bermusuhan, bermusuhan dan bermusuhan. Menjelek-jelekkan, menjelek-jelekkan dan menjelek-jelekkan. Tetapi sebatas mulut alias cangkem alias cocot alias tutuk alias congor. Kita tidak berkembang menjadi manusia pilih tanding berani tandang. Beraninya omong di belakang layar, melempar dari jauh, bersikap begini di depan bersikap begitu di belakang.
Setelah puji Tuhan Gubernur DKI bisa hadir pada pembukaan acara UPC, saya bilang kepada “Istana”:
“Insyaallah ini terakhir saya menyampaikan kerepotan yang berasal dari permasalahan rakyat. Saya tidak mau persaudaraan kita diganggu secara overload oleh problem-problem yang jauh di luar kapasitas saya untuk menyelesaikannya. Saya berusaha tidak akan merepotkan lagi: kasus Pasarturi, tanah Ujung, petani Bangka, dan lumpur yang nanti tak lama lagi akan membara apinya - tidak akan saya tempuh dengan cara seperti kemarin. Memang saya melihat sekam sedang meningkat baranya. Akan ada Bangbang Geni….”
“Tetapi saya juga tahu birokrasi Pemerintah tidak punya tradisi tanggung jawab, tidak mengasah kepekaan terhadap permasalahan rakyatnya, tidak memiliki mekanisme riset dan kontrol untuk berdialektika dengan problem-problem rakyat.''
''Saya tahu mesin birokrasi Pemerintah sangat lamban, terdapat keangkuhan kekuasaan di sana sini, penuh kebebalan hati, tuli telinga dan buta mata, bahkan buta nurani. Saya tahu aturan dan tatanan otoritas Otonomi Daerah masih sangat serabutan, sehingga tidak jelas juga struktur kewenangan antara Walikota atau Bupati dengan Gubernur dan Menteri bahkan Presiden. Seorang Walikota bisa bersikap sangat sombong bahkan menempati maqam persis seperti maqam Firaun”.
“Masalah-masalah kerakyatan dan kenegaraan Indonesia terlalu bertumpuk dan terlalu ruwet untuk bisa diladeni dengan tingkat rendah kredibilitas birokrasi yang sekarang ada. Maka sebaiknya saya berhenti merepotkan Presiden. Tidak usah saya datangi sebagaimana dulu bersama perwakilan 96% korban lumpur sehingga Presiden spontan ngantor di Sidoardjo. Ini bukan hanya karena kapasitas Presiden dan kondisi birokrasi Pemerintah sangat tidak kondusif untuk menyelesaikan berbagai masalah. Tetapi juga karena sangat kecil rasa bersyukur banyak orang atas apa-apa yang semestinya mereka syukuri. Juga karena kecil kemauan berbagai pihak untuk bersikap obyektif dan rasional dalam melihat dan menilai sesuatu….”
“Nanti malam saya akan tidur nyenyak dan belum tahu esok pagi bangun dengan pikiran apa soal Bangbang Geni yang akan membara….” *
Source : http://surya.co.id
Wednesday, March 12, 2008
Budaya Rai Gedhek
Orang Barat akan mundur dari jabatannya ketika dia terbuti melakukan kesalahan. Mereka merasa bersalah karena mengkhianati kepercayaan publik. Untuk mempertangungjawabkan kesalahan itu mereka akan mundur dari jabatan publik.
Itulah inti dari ‘budaya merasa bersalah’ atau guilt culture yang berkembang di Barat.
Di Jepang, orang memegang teguh budaya malu atau shame culture. Mereka yang ketahuan melakukan kesalahan publik akan merasa malu. Sebagai konsekuensinya dia akan mundur dari jabatannya. Bahkan banyak kita dengar pejabat Jepang yang bunuh diri atau harakiri sebagai penebus rasa malunya.
Indonesia tidak punya budaya salah maupun malu. Tidak pernah ada pejabat yang sukarela mundur dari jabatannya karena melakukan kesalahan publik. Pejabat Indonesia malah terkenal sangat ulet mempertahankan jabatannya.
Sudah divonis pengadilan masih juga merasa tidak bersalah dan tetap mempertahankan jabatannya.
Belum pernah ada berita di media mengenai pejabat Indonesia yang bunuh diri seperti di Jepang. Yang banyak bunuh diri di Indonesia bukan pejabat, tetapi rakyat yang sudah tidak tahan menanggung derita.
Seorang anak SD di Magetan bunuh diri karena telantar dan kelaparan. Seorang warga Surabaya yang sakit gula kronis memilih bunuh diri karena tidak mampu lagi membeli obat.
Seorang pedagang gorengan di Jakarta memilih bunuh diri karena harga tepung dan minyak goreng naik terus sehingga dagangannya tidak laku.
Tanpa bunuh diri pun sebenarnya rakyat Indonesia sudah banyak yang mati. Seorang ibu yang hamil tua di Makassar mati kelaparan bersama anaknya yang masih balita.
Berbagai macam penyakit pencabut nyawa sudah tersedia di Indonesia. AIDS sudah menjadi penyakit yang akrab. Flu burung juga penyakit yang sudah dikenal luas di Indonesia. Dan masih sederet lagi penyakit aneh dan mematikan berkeliran di Indoensia.
Bahkan, orang Indonesia bisa mati Cuma gara-gara kecapekan antre minyak tanah.
Ini betul-betul mati ketawa cara Indonesia…
Ada juga seorang pejabat keuangan di Kediri yang bunuh diri. Tapi kita tidak tahu apa dia mempraktikkan budaya malu dan budaya salah. Rasa-rasanya sih dia stres karena terlalu banyak mengeluarkan uang yang tidak jelas untuk bosnya.
* * *
Dari sederet kasus yang memalukan itu kita tidak pernah mendengar ada seorang pemimpin yang berdiri dan mengatakan, ”Saya bertanggung jawab dan mundur dari jabatan karena saya tidak mampu’.
Memang syaraf malu kita sudah pada putus, dan muka kita sudah menjadi tebal seperti gedhek (anyaman bambu).
Sayang belum ada antropolog yang meneliti soal budaya tidak tahu malu ini. Seandainya ada, saya mengusulkan agar budaya Indonesia ini disebut sebagai ‘rai-gedhek culture’.
* * *
Andai kasus Jaksa UTG terjadi di Barat pasti sudah ada menteri atau jaksa agung yang mundur. Kalau terjadi di Jepang sangat mungkin ada yang bunuh diri. Bisa jadi kepala negara atau kepala pemerintahannya juga akan mundur.
Mereka malu karena kasus itu benar-benar ‘mencoreng muka’ mereka.
Tapi karena kasus ini terjadi di Indonesia, tidak ada satu pun yang mundur meski sebenarnya aib ini sangat mencoreng muka kita. Tapi, kalau muka kita terbuat dari gedhek pasti tidak bisa tercoreng lagi.
Kita bisa berdalih bahwa budaya mundur bukan budaya Indonesia. Itu budaya asing yang tidak pantas ditiru di Indonesia.
Tetapi sayangnya kita sudah telanjur mengimpor budaya asing demokrasi liberal ala barat ke dalam sistem politik kita. Pemilihan langsung dengan sistem voting, dan segenap aturan politik yang sekarang kita terapkan ini merupakan produk asing yang kita impor.
Kalau mau konsekuen, seharusnya budaya malu dan budaya bersalah juga harus kita adopsi, karena keduanya merupakan bagian dari demokrasi liberal. Akuntabilitas publik dan transparansi adalah bagian tidak terpisahkan dari demokrasi.
* * *
Pada akhirnya, budaya politik Indonesia memang akan menjadi budaya yang khas yang hanya berlaku di Indonesia.
Jangan malu kalau nanti muncul istilah ‘bamboo-faced culture’ alias budaya rai-gedhek yang khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Apa boleh buat?*
Source : http://surya.co.id
Sunday, March 9, 2008
Catatan kecil seorang Assistan Trainer
Pagi yang cerah (Minggu, 9 Maret 2008) telah hadir, aktivitas pagi belum juga kulakukan terlintas dibenak ingin membuat sebuah tulisan tentang kegiatanku selama mengikuti Pelatihan Jardiknas. Keinginan membuat tulisan muncul karena besok (Senin, 10 Maret 2008) pelatihan tersebut akan berakhir. Dibenak terlintas apa lagi yang akan saya lakukan setelah pelatihan tersebut, apakah totalitas kerja kembali ke SMP Negeri 13 Malang ataukan ada kegiatan lain yang bisa kulakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain.
Yup.... keinginan tersebut tidak serta merta muncul karena saya merasa membutuhkan dan dibutuhkan banyak orang (ah ah...terlepas tugas saya hanya seorang Assistan Trainer). Bahagia rasanya ada orang yang mau dan bisa menerima saya untuk ikut serta terlibat langsung dalam pelatihan ini. Karena tujuan saya hidup adalah mengabdi kepada Allah SWT, realisasinya hamba yang memiliki kemampuan sedikit tentang komputer ini dapat berguna dan bisa membantu orang lain (Guru, Pustakawan, dan Tata Usaha) di 400 sekolah (SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA) se-Kota Malang, tentunya masing-masing sekolah mengirimkan 3 delegasi. Terbayang nggak (melamun sambil tertawa kecil) jumlahnya 1.200 orang, dan terlintas dibenak saya betapa wah banyak jumlah tersebut.
Hmm (sambil minum teh panas) betapa bahagia rasanya bisa terlibat langsung dalam pelatihan tersebut, saya bisa berinteraksi dengan banyak orang. Apalagi civitas akademika SMK Negeri 4 Malang (Grafika) luar biasa menarik buat saya, baik guru, tata usaha, dan siswanya. Sekedar informasi saja sekolah ini rasanya sudah menjadi tempat kerjaku yang ke-dua (bukan dinomor duakan lho), pagi mulai jam 06.30 – 12.30 setelah itu jam 13.00 -19.00 berada di SMK Negeri 4 Malang (perjalanan 30 menit). Terasa cengeng rasanya karena terlintas dibenak, bagaimana tidak hampir setengah tahun selalu beraktivitas di SMK Negeri 4 Malang setelah itu tidak beraktivitas di sekolah itu lagi. Ooops (sambil minum teh panas lagi) itu akan menjadi kenangan yang luar biasa indah.
Kembali ke konteks pelatihan jardiknas dengan 4 Trainer, 4 Assistan Trainer (salah satunya saya), dan 1200 orang pesertanya selama + 6 bulan. Banyak sekali cerita menarik yang dihadapi dengan suka dan dukanya (untuk saya rasio suka dan duka 1199 : 1) karena saya sangat menikmati pelatihan ini. Ragam usia, kemampuan, tingkat pendidikan, toleransi, keuletan/ kesungguhan, keakraban, dan kebersamaan sangat terasa ditemui dalam diri peserta. Ditilik dari usia banyak sekali peserta menurut realita yang terlihat, tampak, dan cerita mereka sudah di atas 50 tahun. Ada pepatah Islam “tuntutlah ilmu sampai liang lahat” atau long life education, jadi tidak ada batasan usia dalam menuntut ilmu yang penting selama mau belajar pasti bisa. Tingkat pendidikan peserta juga beragam, ada yang tamatan SMA, Diploma, Sarjana, dan ada juga Magister (S2). Yang saya garis bawahi adalah keuletan serta kesungguhan dari peserta, sebagian besar mereka sangat antusias dan menikmati proses pelatihan jardiknas ini dan berharap diikutsertakan kembali apabila ada pelatihan seperti ini lagi.
Bersambung…
Friday, February 29, 2008
Hidup Yang Bermanfaat..
Kuhadapkan hati kehadirat ilahi, yang Maha segala-galanya karena aku hidup dan mati sudah diatur oleh-Nya..
Oh...kenapa aku kadang sering lupa..dan baru tersadar setelah mendapatkan kenikmatan dari-Nya
Dasar manusia (saya) masih sering lupa dari pada ingatnya
Tapi saya tetap bersyukur, masih diberi kesadaran untuk selalu mengingat kebesaran dan keagungan-Nya.
Kesempatan demi kesempatan kadang silih berganti menghampiri, terlepas kesempatan itu baik ataupun tidak baik.
Yang penting makna hidup sebenarnya sudah aku ketahui...
Hidup itu hanya satu tujuan saja, mengabdi keharibaan sang pencipta...
Proses panjang akan aku lalui...
Peduli terhadap sesama (manusia)..cerminan dari pengabdian diri
Apalah guna hidup 1000 tahun tapi tidak bermakna dan manfaat...
Lebih baik hidup sehari...tapi bermakna dan manfaat...
Tuhan....jadikan aku dikala tidak ada, orang bimbang/susah..
dan jadikan aku dikala ada, orang akan merasa senang/tentram...
Simbol pemaknaan hidup yang hakiki...oh..hakiki...
Datanglah engkau ke pelukanku...
bersambung....
Subscribe to:
Posts (Atom)