Thursday, April 3, 2008
Celana Pegawai Panti Pijat di Batu Akan Digembok
Batu - Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Batu, Jawa Timur, mengancam akan mencabut izin usaha panti pijat atau banyak disebut pijat tradisional alias Pitrad, bila tidak menata diri dan melanggar aturan.
Hal ini menyusul rencana Pemkot Batu untuk menata sejumlah usaha panti pijat, untuk menghindari dari praktik bisnis prostitusi terselubung yang tumbuh subur di kota wisata berhawa dingin itu.
Dalam aturannya, Pemkot Batu akan mewajibkan para pekerja panti pijat untuk mengenakan celana khusus yang dilengkapi gembok. Tujuannya, agar tidak terjadi penyimpangan usaha panti pijat untuk tujuan porostitusi.
"Sehingga, usaha panti pijat bersih dari praktik prostitusi terselubung," terang Kepala Satpol PP Kota Batu Imam Suryono saat dihubungi detiksurabaya.com, Jumat (4/4/2008).
Pemkot Batu telah memberikan pengarahan bagi 13 panti pijat untuk menata diri, mengubah citra negatif yang melekat pada usaha panti pijat.
Aturan itu telah disosialisasikan kepada pengelola panti pijat di Batu, untuk segera merespon dan mentaatinya. Selama ini, baru dua panti pijat yang menerapkan kewajiban pekera panti pijat mengenakan celana bergembok. Sedangkan, kunci hanya dipegang oleh
penanggung jawab panti pijat.
"Panti pijat selama ini diidentikkan dengan esek-esek. Kita akan melakukan pengawasan secara ketat," katanya.
Sehingga, diharapkan panti pijat akan menjadi sarana kesehatan bagi keluarga. Selama ini, para pengunjung hanyalah pria dewasa yang berasal dari luar Batu maupun dari sekitar Malang.
Selain jasa pijat, sebagian besar usaha panti pijat dilengkapi dengan sauna atau mandi uap.
Ya mudah-mudahan emang bener bukan cari sensasi...
Kita Tunggu Aja....
Source: http://detik.com
Tuesday, April 1, 2008
Bakri Lebih Kaya dari Nabi Sulaiman
Lupa tahun berapa. Pak Harto masih berkuasa. ABRI dan Golkar sedang kuat-kuatnya.
Menteri Agama waktu itu Pak Tarmidzi Taher, Pangdam Jatim Pak Hartono Banyuanyar
Madura, Gubernur Jatim mungkin Pak Basofi Sudirman. Seingat saya ketiga beliau hadir
di BPPM Pondok Gontor Ponorogo siang itu bersama Bambang Tri Hatmojo boss Bimantara. RCTI meliput acara itu untuk siaran tunda, dipimpin langsung oleh direkturnya: Andy
Ralli Siregar. Waktu itu RCTI masih sempit wawasan dan pengalaman pasarnya,
sehingga menyangka saya dan KiaiKanjeng layak tayang. Kesempitan wawasan itu segera
dibayar dengan pernyataan pengunduran diri sang Direktur hanya beberapa puluh menit
sesudah saya dan Kiai Kanjeng naik panggung.
Pasalnya, beberapa menit saya di panggung, saya dikasih kertas kecil berisi
peringatan agar saya hati-hati bicara terutama karena ada anaknya Pak Harto. Maka
saya benar-benar sangat berlaku hati-hati. Saya mengangkat tangan kiri dengan
hati-hati, telunjuk saya luruskan dengan hati-hati dan saya tudingkan ke arah
Bambang Tri Hatmojo.
Tangan saya adalah anugerah Allah yang sangat mahal, sehingga saya gunakan pula
untuk menuding orang yang paling mahal dan penting. "Bambang Tri!", kata saya
dengan hati-hati, "Nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan kekayaanmu. Coba
dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen yang haram dan
berapa persen yang syubhat...."
Karena atmosfir suasana dan wajah semua orang yang hadir terutama para pejabat
tinggi menjadi sangat tegang dan kebingungan, saya meneruskan : "Saya tahu kata2
dan sikap saya sangat menusuk dan menyakitkan hati Bung Bambang, tetapi mohon
diingat bahwa itu hanya secipratan dibandingnya sakitnya hati rakyat selama ini..."
Setelah itu bisa dibayangkan sendiri apa yang terjadi, bagaimana nasib saya,
bagaimana nasib Kiai Gontor yang sesepuh saya di hadapan Pak Harto, bagimana nasib
Direktur RCTI di depan pemilik Bimantara Bambang Tri Hatmojo dst.
Apalagi ketika
kemudian mendadak MC berdiri dan memotong pembicaraan saya dengan mengatakan
"Saudara-saudara demikianlah tadi telah berlangsung seluruh rangkaian acara...."
Spontan dengan hati-hati saya menggebrak meja dan saya bentak MC itu dan saya suruh
turun panggung....
Kalau Anda hadir di Bangbang Wetan insyaallah ada kemungkinan saya kisahkan secara
lebih detail apa yang kemudian terjadi. Suharto masih sangat berkuasa, tentara dan
polisi ada di mana-mana karena Pangdam hadir Menteri hadir dan terutama anaknya Pak
Harto hadir.
Jangan dibandingkan dengan situasi sekarang. Ketika Orba semua orang "ndelosor"
ketakutan. Beda dengan di masa reformasi, sekarang ini: semua orang pemberani,
hebat-hebat, kritis, progresif dan berani melawan siapa saja. Di masa reformasi
semua orang bangkit, semua orang bisa jadi Menteri, semua orang bisa jadi Gubernur,
anggota DPR, Bupati, Walikota...
Kecuali saya. Saya sangat penakut begitu era reformasi berlangsung. Sehingga kalau
umpamanya saya terlibat dalam suatu forum di mana ada Aburizal Bakri, saya jamin
saya tidak akan berani mengucapkan kalimat seperti yang saya ucapkan di depan umum
kepada Bambang Tri Hatmojo : "Bung Ical, nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan
kekayaanmu. Coba dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen
yang haram dan berapa persen yang syubhat...."
Mungkin karena beliau saya bayangkan lebih kaya dibanding Nabi Sulaiman, meskipun
hal itu harus diinvestigasi. Mungkin juga karena dalam pemetaan struktural global
seperti sekarang belum ada pasal-pasal fiqih yang bisa dipakai sebagai parameter
untuk mengukur apakah uang yang itu halal atau haram. Kausalitas, sebab akibat,
asal muasal, ujung pangkal dan sangkan paran setiap lembar uang di tangan seseorang
sangat susah ditentukan posisi fiqhiyahnya, halal haramnya.
Yang saya mampu lakukan adalah tiga hari yang lalu khushusan dari Jakarta saya
datang ke Sidoardjo untuk berkumpul dengan sekitar 120 perwakilan dan tokoh-tokoh
masyarakat korban lumpur yang berjumlah sekitar 11.600 KK atau sekitar 47.000
orang, di luar 290 KK yang masih tinggal di Pasar Porong. Sebelum itu saya temui
dulu Bupati Sidoardjo untuk memastikan di mana "alamat" beliau dalam peta lumpur
hari ini dan ke depan.
Alhamdulillah Sidoardjo solid. Nanti Pebruari Sidoardjo Bangkit. Kami menyepakati
sejumlah prinsip secara penuh tekad bulat, menyusun sekian agenda bertahap ke
depan. Monggo saja.****
Emha Ainun Nadjib
Sunday, March 30, 2008
Bangbang Wetan, Bangbang Geni
Jaringan Bangbang Wetan yang di Jakarta, yakni Komunitas Kenduri Cinta, beberapa hari yll saya mintai tolong mensupport kegiatan Urban Poor Concortium antara 5 sd 10 Desember ini. Mereka ingin Presiden hadir berdialog dengan kaum miskin urban Jakarta yang mereka kumpulkan. Tetapi Wardah Hafidh, pimpinan UPC, baru menghubungi kami awal Desember. Bagaimana mungkin Presiden “didadak”. Tetapi tetap saya upayakan dan teman-teman KC bergerak dari level dan wilayah mereka.
Bagi saya inisiatif itu sangat menarik. UPC tergolong LSM besar dan sudah lebih 10 tahun menemani masyarakat miskin perkotaan. Saya tidak akan menilai apa-apa tentang LSM, tetapi Wardah dan UPC yang selama ini dikenal frontal dan radikal secara politik menghadapi pemerintah, terutama Pemerintah DKI: menarik untuk ditengok bahwa mereka membuka dialog dengan Presiden.
UPC percaya kepada dialog, kepada komunikasi, perundingan, perdebatan - tak hanya berjuang dengan mengandalkan kebencian, menuding-nuding, “ngarani” dan “ngrasani”.
Wardah Hafidh, kakak kandung Salman Hafidh yang dulu dihukum mati oleh rezim Suharto karena kasus penyerbuan Polsek di Bandung, selama ini memang tidak dikenal “hobi” omong, bikin statemen di koran, pidato gagah, orasi kejam menusuk-nusuk mereka yang dibenci.
Wardah bersuara sangat lirih dan lembut. Tak suka tampil. Tak merasa dirinya tokoh atau pejuang. Wardah dengan setting sejarah Masyumi meskipun ia bukan kader Masyumi: percaya bahwa yang dicari rakyat adalah solusi. Yang dibutuhkan masyarakat yang bermasalah adalah jalan keluar. Wardah bukan pedagang masalah, yang punya kepentingan untuk mencari masalah, menghimpun masalah, memelihara masalah, mempertahankan masalah, karena penghidupannya bersumber dari masalah rakyat.
Wardah sangat mencintai rakyat kecil, karena memang demikian habitat keluarganya sejak dulu. Bersekolah di Mu'allimat Muhammadiyah, Sarjana Bahasa Inggris IKIP Malang, meneruskan di Ballstate University, Muncy City, Indianapolis, Amerika Serikat. Bertamu ke Allah di rumah-Nya diam-diam, dan pulang ke tanah air tanpa memasangnya sebagai hiasan penampilan sosialnya. Wardah menikmati diri dan kehidupannya yang sejati menjelang usia senjanya.
Tetapi tidak mungkin Presiden kita “paksa” mengubah skedulnya yang padat dalam waktu yang mendadak. Tetapi bisa kita upayakan agar Presiden menginstruksikan kepada Gubernur DKI Jaya Fauzi Bowo untuk merespon ajakan dialog. Syukur alhamdulillah melalui sejumlah sms dan proses, Gubernur baru itu pada 5 Desember hadir di Tugu Proklamasi Jakarta pada acara UPC menjelang Peringatan Hari HAM 10 Desember. Wardah mengatakan kepada saya bahwa kehadiran Gubernur itu positif, artinya tidak ada kepalsuan ideologis dan kolusi birokrasi. Berlangsung rasional, fair, dengan nuansa dialog dan perundingan.
Tidak nuansa sikap dari Pemerintah yang hitam putih bahwa “pokoknya LSM itu jelek”, sebaliknya juga tidak ada irrasionalitas sikap LSM yang mati hidup menyebut “pokoknya Pemerintah itu jelek”. Saya tidak menyimpulkan bahwa dengan demikian Indonesia akan keluar dari masalah-masalahnya. Saya tidak mengatakan bahwa nuansa positif ini cukup untuk menyelesaikan masalah. Tetapi bahwa memang demikianlah yang semestinya dilakukan oleh manusia, oleh intelektual, oleh aktivis, oleh pejuang, dalam posisi apapun.
Selama ini kita punya kebiasaan untuk bermusuhan, bermusuhan dan bermusuhan. Menjelek-jelekkan, menjelek-jelekkan dan menjelek-jelekkan. Tetapi sebatas mulut alias cangkem alias cocot alias tutuk alias congor. Kita tidak berkembang menjadi manusia pilih tanding berani tandang. Beraninya omong di belakang layar, melempar dari jauh, bersikap begini di depan bersikap begitu di belakang.
Setelah puji Tuhan Gubernur DKI bisa hadir pada pembukaan acara UPC, saya bilang kepada “Istana”:
“Insyaallah ini terakhir saya menyampaikan kerepotan yang berasal dari permasalahan rakyat. Saya tidak mau persaudaraan kita diganggu secara overload oleh problem-problem yang jauh di luar kapasitas saya untuk menyelesaikannya. Saya berusaha tidak akan merepotkan lagi: kasus Pasarturi, tanah Ujung, petani Bangka, dan lumpur yang nanti tak lama lagi akan membara apinya - tidak akan saya tempuh dengan cara seperti kemarin. Memang saya melihat sekam sedang meningkat baranya. Akan ada Bangbang Geni….”
“Tetapi saya juga tahu birokrasi Pemerintah tidak punya tradisi tanggung jawab, tidak mengasah kepekaan terhadap permasalahan rakyatnya, tidak memiliki mekanisme riset dan kontrol untuk berdialektika dengan problem-problem rakyat.''
''Saya tahu mesin birokrasi Pemerintah sangat lamban, terdapat keangkuhan kekuasaan di sana sini, penuh kebebalan hati, tuli telinga dan buta mata, bahkan buta nurani. Saya tahu aturan dan tatanan otoritas Otonomi Daerah masih sangat serabutan, sehingga tidak jelas juga struktur kewenangan antara Walikota atau Bupati dengan Gubernur dan Menteri bahkan Presiden. Seorang Walikota bisa bersikap sangat sombong bahkan menempati maqam persis seperti maqam Firaun”.
“Masalah-masalah kerakyatan dan kenegaraan Indonesia terlalu bertumpuk dan terlalu ruwet untuk bisa diladeni dengan tingkat rendah kredibilitas birokrasi yang sekarang ada. Maka sebaiknya saya berhenti merepotkan Presiden. Tidak usah saya datangi sebagaimana dulu bersama perwakilan 96% korban lumpur sehingga Presiden spontan ngantor di Sidoardjo. Ini bukan hanya karena kapasitas Presiden dan kondisi birokrasi Pemerintah sangat tidak kondusif untuk menyelesaikan berbagai masalah. Tetapi juga karena sangat kecil rasa bersyukur banyak orang atas apa-apa yang semestinya mereka syukuri. Juga karena kecil kemauan berbagai pihak untuk bersikap obyektif dan rasional dalam melihat dan menilai sesuatu….”
“Nanti malam saya akan tidur nyenyak dan belum tahu esok pagi bangun dengan pikiran apa soal Bangbang Geni yang akan membara….” *
Source : http://surya.co.id
Subscribe to:
Posts (Atom)