My Activity

Sunday, April 20, 2008

Wakil Presiden Tukul


Rano Karno menjadi wakil bupati, Dede Yusuf menjadi wakil gubernur, sebentar lagi Tukul menjadi wakil presiden.
Rano Karno lebih dikenal sebagai Si Doel. Dede sangat dikenal sebagai bintang obat sakit kepala. Popularitas mereka terbukti menjadi daya pikat bagi pemilih yang sudah bosan dengan para birokrat mapan yang tidak menghasilkan apa-apa.

Sekaranglah kesempatan bagi orang-orang terkenal itu untuk menjadi sumber alternatif kepemimpinan. Wanda Hamidah akan mencalonkan diri menjadi wakil bupati atau wakil walikota. Saiful Jamil akan macung wakil bupati, atau Inul yang bakal balik ke Pasuruan dan mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota.

Tak usahlah bicara soal kemampuan mengendalikan pemerintahan. Memangnya para politisi yang berebutan jabatan itu punya kemampuan mengendalikan pemerintahan? Tidak juga.
* * *
Kira-kira 2500 tahun yang silam, Socrates mengatakan bahwa pekerjaan sesederhana apapun di dunia ini membutuhkan keterampilan untuk menjalankannya. Butuh waktu belajar untuk bisa memperoleh keterampilan itu.

Tetapi anehnya, kata Socrates, ada satu pekerjaan yang semua orang merasa bisa melakukan tanpa belajar atau punya keterampilan, yaitu, menjalankan pemerintahan. Padahal, kata Socrates, itu adalah pekerjaan yang paling sulit dan berat di antara semua pekerjaan yang ada di dunia ini.

Socrates sudah mencium fenomena ini 2500 tahun yang lalu. Ternyata pernyataan Socrates itu justru lebih relevan sekarang di Indonesia. Orang berlomba-lomba maju menjadi kepala daerah tanpa punya keterampilan dan pengetahuan apa pun mengenai pemerintahan.

Mereka merasa bahwa memerintah adalah 'ilmu katon' yang bisa dipelajari sambil jalan. Socrates sudah mengecam kecenderungan ini ribuan tahun yang lalu. Ia sudah mencium bahwa para pemimpin pemerintahan yang pandir itu akan menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan.
Hitunglah sekarang di negeri kita ini berapa banyak orang yang tidak kompeten yang mencalonkan diri menjadi menjadi kepala pemerintahan. Celakanya, mereka terpilih.

Akibatnya, nasib rakyat akan dipertaruhkan sebagai uji coba oleh pemimpin yang tidak kompeten ini.
Nyawa rakyat menjadi taruhan. Bencana alam berkepanjangan, bencana di darat, laut, dan udara, bencana menerikan di Sidoarjo adalah akibat dari ketidakmampuan pemimpin menjalankan pemerintahan.
* * *
Daftar orang-orang yang berambisi berebut kursi kepresidenan pada 2009 nanti adalah stok-stok lama yang semuanya punya andil--sedikit atau banyak--dalam keterpurukan negeri kita ini.

Ada yang pernah memerintah beberapa tahun dan tidak melakukan apa-apa kecuali ributterus dengan orang lain. Ada yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali menjuali aset-aset negara. Ada juga yang tidak melakukan apa-apa kecuali menembaki rakyat yang tidak berdosa. Ada yang tidak melakukan apa-apa kecuali meringkus semua peluang bisnis untuk diri dan kroninya. Ada juga yang benar-benar tidak melakukan apa-apa.

Mereka inilah yang nanti akan datang kepada rakyat dan menawarkan diri mereka untuk menjadi pemimpin rakyat dengan berbagai bujuk rayu.
Demokrasi adalah nama yang kita berikan kepada rakyat ketika kita membutuhkan mereka. Begitu kata ahli filsafat politik. Kita sudah hapal karena setiap lima tahun tiba-tiba saja rakyat menjadi begitu penting.

Sebentar lagi akan bermunculan beragai jargon yang mengatasnamakan rakyat. Kita pasti masih ingat jargon 'Bersama Kita Bisa'. Mana buktinya? Bersama kita bisa apa? Jangankan untuk menyelesaikan krisis nasional, untuk 'bisa bersama' saja para pemimpin itu tidak bisa.
Yang terjadi adalah bersama kita bisa antre. Karena di mana-mana orang antre dengan tertib. Antre mendapat beras dan antre membeli minyak tanah dan minyak goreng.

Itulah pemandangan yang lazim kita saksikan sehari-hari belakangan ini.
Kita patut bangga sedikit. Ternyata masyarakat kita cukup disiplin.
Lihatlah di jalanan dan di sudut-sudut kampung, orang dengan tertib antre untuk mendapatkan beras dan minyak.

Katanya budaya antre itu bukan budaya Indonesia. Orang Indonesia suka main serobot di jalan dan di mana-mana Tapi ternyata sekarang tuduhan itu tidak benar. Budaya antre benar-benar menjadi budaya Indonesia. Meski pahit, mau tidak mau kita harus telan juga. Itulah kenyataannya.
Itulah bukti ketidakmampuan rezim pemerintahan kita.
* * *
Kalau sudah begitu mengapa kita tidak sekalian saja memilih Tukul sebagai presiden atau wakilnya. Tanya kepada semua orang mereka pasti mengenal Tukul. Tampangnya yang katrok justru menjadi simbol kejujuran. Kejujuran inilah yang tidak dipunyai politisi dan pemimpin yang ada sekarang.

Gaya Tukul yang bego justru menimbulkan simpati dan menjadi daya tarik. Saya yakin, Tukul jauh lebih cerdas dibanding rata-rata politisi kita.
Tukul adalah dagelan. Politik juga dagelan.
Hidup Wapres Tukul!*

http://surya.co.id