Wednesday, March 12, 2008
Budaya Rai Gedhek
Orang Barat akan mundur dari jabatannya ketika dia terbuti melakukan kesalahan. Mereka merasa bersalah karena mengkhianati kepercayaan publik. Untuk mempertangungjawabkan kesalahan itu mereka akan mundur dari jabatan publik.
Itulah inti dari ‘budaya merasa bersalah’ atau guilt culture yang berkembang di Barat.
Di Jepang, orang memegang teguh budaya malu atau shame culture. Mereka yang ketahuan melakukan kesalahan publik akan merasa malu. Sebagai konsekuensinya dia akan mundur dari jabatannya. Bahkan banyak kita dengar pejabat Jepang yang bunuh diri atau harakiri sebagai penebus rasa malunya.
Indonesia tidak punya budaya salah maupun malu. Tidak pernah ada pejabat yang sukarela mundur dari jabatannya karena melakukan kesalahan publik. Pejabat Indonesia malah terkenal sangat ulet mempertahankan jabatannya.
Sudah divonis pengadilan masih juga merasa tidak bersalah dan tetap mempertahankan jabatannya.
Belum pernah ada berita di media mengenai pejabat Indonesia yang bunuh diri seperti di Jepang. Yang banyak bunuh diri di Indonesia bukan pejabat, tetapi rakyat yang sudah tidak tahan menanggung derita.
Seorang anak SD di Magetan bunuh diri karena telantar dan kelaparan. Seorang warga Surabaya yang sakit gula kronis memilih bunuh diri karena tidak mampu lagi membeli obat.
Seorang pedagang gorengan di Jakarta memilih bunuh diri karena harga tepung dan minyak goreng naik terus sehingga dagangannya tidak laku.
Tanpa bunuh diri pun sebenarnya rakyat Indonesia sudah banyak yang mati. Seorang ibu yang hamil tua di Makassar mati kelaparan bersama anaknya yang masih balita.
Berbagai macam penyakit pencabut nyawa sudah tersedia di Indonesia. AIDS sudah menjadi penyakit yang akrab. Flu burung juga penyakit yang sudah dikenal luas di Indonesia. Dan masih sederet lagi penyakit aneh dan mematikan berkeliran di Indoensia.
Bahkan, orang Indonesia bisa mati Cuma gara-gara kecapekan antre minyak tanah.
Ini betul-betul mati ketawa cara Indonesia…
Ada juga seorang pejabat keuangan di Kediri yang bunuh diri. Tapi kita tidak tahu apa dia mempraktikkan budaya malu dan budaya salah. Rasa-rasanya sih dia stres karena terlalu banyak mengeluarkan uang yang tidak jelas untuk bosnya.
* * *
Dari sederet kasus yang memalukan itu kita tidak pernah mendengar ada seorang pemimpin yang berdiri dan mengatakan, ”Saya bertanggung jawab dan mundur dari jabatan karena saya tidak mampu’.
Memang syaraf malu kita sudah pada putus, dan muka kita sudah menjadi tebal seperti gedhek (anyaman bambu).
Sayang belum ada antropolog yang meneliti soal budaya tidak tahu malu ini. Seandainya ada, saya mengusulkan agar budaya Indonesia ini disebut sebagai ‘rai-gedhek culture’.
* * *
Andai kasus Jaksa UTG terjadi di Barat pasti sudah ada menteri atau jaksa agung yang mundur. Kalau terjadi di Jepang sangat mungkin ada yang bunuh diri. Bisa jadi kepala negara atau kepala pemerintahannya juga akan mundur.
Mereka malu karena kasus itu benar-benar ‘mencoreng muka’ mereka.
Tapi karena kasus ini terjadi di Indonesia, tidak ada satu pun yang mundur meski sebenarnya aib ini sangat mencoreng muka kita. Tapi, kalau muka kita terbuat dari gedhek pasti tidak bisa tercoreng lagi.
Kita bisa berdalih bahwa budaya mundur bukan budaya Indonesia. Itu budaya asing yang tidak pantas ditiru di Indonesia.
Tetapi sayangnya kita sudah telanjur mengimpor budaya asing demokrasi liberal ala barat ke dalam sistem politik kita. Pemilihan langsung dengan sistem voting, dan segenap aturan politik yang sekarang kita terapkan ini merupakan produk asing yang kita impor.
Kalau mau konsekuen, seharusnya budaya malu dan budaya bersalah juga harus kita adopsi, karena keduanya merupakan bagian dari demokrasi liberal. Akuntabilitas publik dan transparansi adalah bagian tidak terpisahkan dari demokrasi.
* * *
Pada akhirnya, budaya politik Indonesia memang akan menjadi budaya yang khas yang hanya berlaku di Indonesia.
Jangan malu kalau nanti muncul istilah ‘bamboo-faced culture’ alias budaya rai-gedhek yang khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Apa boleh buat?*
Source : http://surya.co.id
Sunday, March 9, 2008
Catatan kecil seorang Assistan Trainer
Pagi yang cerah (Minggu, 9 Maret 2008) telah hadir, aktivitas pagi belum juga kulakukan terlintas dibenak ingin membuat sebuah tulisan tentang kegiatanku selama mengikuti Pelatihan Jardiknas. Keinginan membuat tulisan muncul karena besok (Senin, 10 Maret 2008) pelatihan tersebut akan berakhir. Dibenak terlintas apa lagi yang akan saya lakukan setelah pelatihan tersebut, apakah totalitas kerja kembali ke SMP Negeri 13 Malang ataukan ada kegiatan lain yang bisa kulakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain.
Yup.... keinginan tersebut tidak serta merta muncul karena saya merasa membutuhkan dan dibutuhkan banyak orang (ah ah...terlepas tugas saya hanya seorang Assistan Trainer). Bahagia rasanya ada orang yang mau dan bisa menerima saya untuk ikut serta terlibat langsung dalam pelatihan ini. Karena tujuan saya hidup adalah mengabdi kepada Allah SWT, realisasinya hamba yang memiliki kemampuan sedikit tentang komputer ini dapat berguna dan bisa membantu orang lain (Guru, Pustakawan, dan Tata Usaha) di 400 sekolah (SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA) se-Kota Malang, tentunya masing-masing sekolah mengirimkan 3 delegasi. Terbayang nggak (melamun sambil tertawa kecil) jumlahnya 1.200 orang, dan terlintas dibenak saya betapa wah banyak jumlah tersebut.
Hmm (sambil minum teh panas) betapa bahagia rasanya bisa terlibat langsung dalam pelatihan tersebut, saya bisa berinteraksi dengan banyak orang. Apalagi civitas akademika SMK Negeri 4 Malang (Grafika) luar biasa menarik buat saya, baik guru, tata usaha, dan siswanya. Sekedar informasi saja sekolah ini rasanya sudah menjadi tempat kerjaku yang ke-dua (bukan dinomor duakan lho), pagi mulai jam 06.30 – 12.30 setelah itu jam 13.00 -19.00 berada di SMK Negeri 4 Malang (perjalanan 30 menit). Terasa cengeng rasanya karena terlintas dibenak, bagaimana tidak hampir setengah tahun selalu beraktivitas di SMK Negeri 4 Malang setelah itu tidak beraktivitas di sekolah itu lagi. Ooops (sambil minum teh panas lagi) itu akan menjadi kenangan yang luar biasa indah.
Kembali ke konteks pelatihan jardiknas dengan 4 Trainer, 4 Assistan Trainer (salah satunya saya), dan 1200 orang pesertanya selama + 6 bulan. Banyak sekali cerita menarik yang dihadapi dengan suka dan dukanya (untuk saya rasio suka dan duka 1199 : 1) karena saya sangat menikmati pelatihan ini. Ragam usia, kemampuan, tingkat pendidikan, toleransi, keuletan/ kesungguhan, keakraban, dan kebersamaan sangat terasa ditemui dalam diri peserta. Ditilik dari usia banyak sekali peserta menurut realita yang terlihat, tampak, dan cerita mereka sudah di atas 50 tahun. Ada pepatah Islam “tuntutlah ilmu sampai liang lahat” atau long life education, jadi tidak ada batasan usia dalam menuntut ilmu yang penting selama mau belajar pasti bisa. Tingkat pendidikan peserta juga beragam, ada yang tamatan SMA, Diploma, Sarjana, dan ada juga Magister (S2). Yang saya garis bawahi adalah keuletan serta kesungguhan dari peserta, sebagian besar mereka sangat antusias dan menikmati proses pelatihan jardiknas ini dan berharap diikutsertakan kembali apabila ada pelatihan seperti ini lagi.
Bersambung…
Subscribe to:
Posts (Atom)